Sunday 28 August 2016

Sejarah ukir Jepara

Ukiran Jepara sudah ada jejaknya pada  masa  Pemerintahan Ratu Kalinyamat (1521-1546) pada 1549. Ratu  mempunyai anak perempuan bernama Retno Kencono  yang  besar peranannya  bagi perkembangan seni ukir. Di kerajaan,  ada  menteri bernama Sungging Badarduwung,  yang datang dari Campa (Cambodia) dan  dia adalah seorang pengukir  yang baik.   Ratu  membangun  Masjid Mantingan dan Makam  Jirat (makam  untuk suaminya), dan meminta Sungging  untuk   memperindah bangunan itu dengan ukiran. Sungging  lalu  memenuhi permintaan  Ratu Kalinyamat. Hingga sekarang,  ukiran itu bisa disaksikan di masjid dan Makam Sultan Hadlirin yang terdapat 114 relief pada batu putih.  Daerah Belakang Gunung  konon terdapat kelompok ukir  yang  bertugas melayani kebutuhan ukir keluarga  kerajaan. Kelompok ukir  itu kemudian mengembangkan bakatnya dan tetangga sekitar ikut belajar  dari  mereka. Jumlah pengukir tambah  banyak. Pada  masa Ratu Kalinyamat  kelompok mereka berkembang. Namun, sepeninggal Ratu  Kalinyamat mereka stagnan. Dan  kemudian berkembang lagi pada masa Kartini.

Satu citra yang telah begitu  melekat  dengan Jepara  adalah predikatnya sebagai “Kota Ukir”. Ukir kayu  telah  menjadi idiom  kota kelahiran Raden Ajeng Kartini ini, dan bahkan belum ada kota lain  yang  layak disebut sepadan dengan  Jepara untuk  industri  kerajinan   mebel ukir. Akan tetapi, untuk sampai pada  kondisi seperti ini, Jepara telah  menapak perjalanan yang  sangat panjang. Sejak jaman kejayaan Negara-negara Hindu di Jawa  Tengah, Jepara telah dikenal sebagai pelabuhan utara pantai Jawa yang juga berfungsi pintu gerbang komunikasi antara kerajaan Jawa dengan Cina dan India. Demikian juga pada saat kerajan Islam pertama di  Demak, Jepara telah dijadikan sebagai pelabuhan Utara selain sebagai pusat perdagangan dan pangkalan armada  perang. Pada  masa penyebaran agama Islam  oleh para Wali, Jepara juga dijadikan daerah “pengabdian” Sunan Kalijaga yang mengembangkan berbagai macam seni, termasuk seni ukir. Faktor lain yang  melatarbelakangi perkembangan ukir kayu  di Jepara adalah para pendatang dari negeri Cina yang kemudian menetap. Dalam  catatan sejarah  perkembangan ukir kayu, tak dapat dilepaskan pula dari peranan Ratu Kalinyamat. Pada  masa pemerintahannya ia  memiliki seorang patih yang bernama “Sungging  Badarduwung” yang  berasal dari  Negeri Campa. Patih ini ternyata  seorang ahli pahat yang dengan sukarela  mengajarkan keterampilannya kepada  masyarakat di sekitarnya.  Satu bukti  yang masih dapat dilihat dari seni ukir masa pemerintahan  Ratu Kalinyamat ini adalah adanya ornamen ukir batu di Masjid Mantingan. Di samping itu, peranan  Raden Ajeng Kartini dalam  pengembangkan seni  ukir juga sangat besar. Raden Ajeng Kartini  yang  melihat kehidupan para  pengerajin tak  juga beranjak dari kemiskinan, batinnya terusik, sehingga ia bertekat  mengangkat derajat para  pengerajin. Ia  memanggil beberapa pengerajin dari Belakang Gunung (kini salah satu padukuhan Desa mulyoharjo)  di bawah pimpinan Singowiryo,  untuk bersama-sama  membuat ukiran di  belakang  Kabupaten. Oleh Raden Ajeng Kartini, mereka diminta untuk  membuat berbagai  macam  jenis ukiran, seperti peti jahitan, meja keci, figura, tempat rokok, tempat  perhiasan,  dan barang souvenir lainnya. Barang-barang ini kemudian dijual Raden Ajeng Kartini ke  Semarang  dan Batavia (sekarang Jakarta), sehingga  akhirnya diketahui bahwa masyarakat Jepara pandai mengukir. Setelah banyak pesanan yang datang, hasil produksi  para pengerajin Jepara bertambah jenis, seperti: kursi pengantin,  alat panahan angin,  tempat tidur pengantin dan  penyekat ruangan serta berbagai jenis kursi tamu  dan kursi makan. Raden Ajeng Kartini juga mulai  memperkenalkan seni ukir Jepara keluar negeri. Caranya, Raden  Ajeng Kartini memberikan souvenir  kepada sahabatnya di luar negeri. Akibatnya, seni ukir terus berkembang dan pesanan terus berdatangan. Seluruh penjualan barang, setelah dikurangi  dengan biaya  produksi  dan ongkos  kirim,  uangnya  diserahkan secara utuh kepada para pengerajin. Untuk menunjang perkembangan seni ukir Jepara  yang telah dirintis oleh  Raden Ajeng Kartini, pada 1929 timbul gagasan dari beberapa  orang pribumi untuk mendirikan sekolah kejuruan. Tepat pada tanggal 1 Juli 1929, sekolah pertukangan dengan jurusan  mebel dan ukir dibuka dengan nama  “Openbare Ambachtsschool”  yang kemudian  berkembang menjadi Sekolah Teknik  Negeri dan Kemudian menjadi Sekolah Menengah Industri Kerajinan Negeri.

Dengan adanya  sekolah  kejuruan ini, kerajinan  mebel dan ukiran meluas di kalangan masyarakat.  Makin banyak  pula anak  yang masuk  sekolah ini agar  mendapatkan kecakapan pada bidang mebel  dan ukir.   Di sekolah ini diajarkan berbagai  macam  desain    motif  ukir serta ragam  hias Indonesia  yang pada  mulanya  belum  diketahui  oleh masyarakat Jepara. Tokoh-tokoh  yang  berjasa dalam  pengembangan  motif lewat lembaga pendidikan ini adalah  Raden Ngabehi Projo Sukemi, yang mengembangkan motif  Majapahit dan Pajajaran,  serta Raden Ngabehi Wignjopangukir,  yang mengembangkan motif Pajajaran dan Bali. Semakin bertambahnya motif ukir  yang dikuasai  oleh para pengerajin Jepara, mebel dan ukiran Jepara semakin diminati. Para pedagang  pun mulai  memanfaatkan  kesempatan ini untuk mendapatkan barang-barang baru guna  memenuhi permintaan konsumen,  baik yang  berada di dalam maupun di luar negeri.

Related Posts

Sejarah ukir Jepara
4/ 5
Oleh